Page 221 of 365.
Untukmu, J.
Untukmu, J.
Halo, J..
Apa kabar?
Pasti baik, kan? Tadi aku lihat kamu bersama seorang teman
pergi berdua.
Ya, aku harap dia hanya seorang teman.
Memikirkan bahwa
sudah ada orang lain yang memilikimu tidak bisa diterima pikiranku.
Jika ada formula
‘yang harusnya memilikimu’ pastilah jawabannya adalah ‘aku’.
Sudah lama kita tidak mengobrol..
Bahkan, aku ragu kita pernah mengobrol sebelumnya.
Maksudku, mengobrol tentang kita.
Bukan tentang temanmu.
Bukan tentang temanku.
Bukan tentang
pekerjaanmu.
Bukan tentang studiku.
Tapi tentang kita.
Tentang harapan.
Tentang
cinta.
Aku tahu.
Mungkin ini salah.
Mungkin memang benar jika kita berdua
bukanlah pasangan yang sepadan.
Tapi kadang aku bertanya, siapakah yang
menentukan batas baik dan benar?
Bukankah jika kita berdua merasa bahwa ini
adalah hal yang baik, itu adalah hal yang baik?
Kenapa harus dengar apa kata orang?
Kenapa harus dengar apa
kata dunia?
Aku menulis surat ini bukan sebagai surat cinta yang merayu
– rayu agar aku bisa kembali mendekatimu.
Aku menulis surat ini karena aku
merasa kehilangan.
Aku merasa kehilangan seorang teman baik.
Bukannya berlagak munafik.
Ya, mungkin rasa itu masih ada
sampai saat ini.
Tapi yang lebih aku butuhkan saat ini adalah teman.
Seorang teman yang mengerti aku, yang mengerti apa yang aku
hadapi, dan yang tidak menghakimi.
Seorang teman seperti kamu yang dahulu.
Aku sudah hampir bisa mendengar suaramu yang menyerukan nada
– nada sinis agar aku berhenti menjadi seorang bayi dan mulai menghadapi hidup.
“Kamu bisa bertahan hidup sebelum bertemu aku. Kenapa harus
tidak bisa melanjutkan hidup lagi tanpaku?”
Kenapa?
Aku juga belum menemukan jawabnya sampai saat ini.
Mungkin aku harus lebih giat lagi mencari jawabannya.
Baiklah,
aku harap kamu sehat selalu dan bahagia.
Dengannya, tanpaku
Dari, I.
PS: Maaf jika kertasnya basah, aku bersumpah ini bukan tetes air mata.
No comments:
Post a Comment