Monday, November 26, 2012

train, bus, and handphone: a thoughts of responsibilities


Hey, readers.

Udah berapa hari belakangan ini, kereta rel listrik yang menjadi andalan gue buat berangkat ke kampus gak tersedia di Stasiun Bogor. Ini karena ada longsor di jalur menuju Bogor jadi keretanya hanya bisa sampai dua stasiun sebelum Bogor. Jangan ditanya apa efeknya. Gue sekarang harus naik bis ke kampus, yang cukup memiliki banyak permasalahan.

Naik bis berarti gak ada kepastian lu bisa berangkat atau sampai kampus jam berapa. Belum juga karena gak ada kereta di Bogor, orang – orang yang biasanya naik kereta juga pilih naik bis. Akibatnya, bis jadi penuh. Bahkan tadi sempet gak ada bis karena semua udah berangkat karena udah penuh penumpang. Naik bis ke arah Kalideres mengakibatkan gue boros karena gue harus naik taksi atau ojek ke kampus setelah turun di Slipi. Sebenernya bisa naik transjakarta tapi karena ketidakpastian jadwal sampai di Slipi, ya seringnya jadi naik taksi atau ojek. Belum juga kadang gue dapet duduk di kursi darurat di belakang bis yang sangat menyiksa bagi orang dengan tinggi tubuh lebih dari 175 cm. Intinya, saya mau kereta kembali secepatnya. (Berita di TV bilang, kereta paling cepat beroperasi normal itu dalam tiga minggu.)

Oke, udah beres curhatnya tentang masalah hidup saya. Sekarang saya mau berbagi pemikiran saya dengan saudara – saudara sekalian.

Beberapa hari belakangan ini, dikarenakan satu dan lain hal, i don’t use handphones again. Sama sekali. When i first told this to my friends, they looked at me, shocked as if i told them that i have leukimia.

Reaksi umum semuanya adalah: Jadi sekarang lu pakai apa?

Jawaban gue: Gak pakai apa – apa.

Reaksi umum #2 adalah: Jadi gue kalo mau hubungin lu gimana?

Jawaban gue: *sedikit seneng karena ternyata orang – orang banyak yang mau cariin gue.. atau mereka mau nagih utang pulsa gue. darn* Kalo mau hubungin gue, ya ke e-mail atau sms aja. Nanti gue cek nomor hape gue beberapa hari sekali kalo bisa.

Reaksi umum #3 adalah: Sakit jiwa lu yak? Jaman sekarang gak pake HP bikin susah orang aja.

...

...

The last sentence got me thinking a lot.

Kenapa keputusan gue gak memakai HP malah jadi dibilang bikin susah orang lain? Selama gue pake HP selama kurang lebih 6 tahun terakhir, gue baru pernah dapet berita yang menurut gue sangat darurat hanya sekali pas gue SMP. Saat Opa gue meninggal. Itupun karena kejadiannya Hari Minggu dan gue sedang tidak bersama keluarga gue. Selain itu, gue belum pernah merasakan fungsi HP sebagai alat pengabar darurat.

Fungsi lain HP kan mempermudah komunikasi. In my defense, nowadays, it’s not relevant again. Gue masih bisa berkomunikasi lewat media sosial yang gue akses lewat laptop. Malah, jadi gak terlalu banyak makan waktu buat baca twit gak penting atau status yang isinya curhatan galau.

Memang ada ruginya kalo gak pake HP gini. Tapi, menurut gue, semua jadi keputusan si empunya kehidupan dong.

See, i wanna share how often we blame others’ condition as some things that impact our lives badly.

Kenapa banyak orang yang bilang gue malah bikin repot mereka karena mereka gak bisa hubungin gue padahal gue udah kasih solusi untuk menghubungi gue?

Sama aja kaya kalo lagi mau cepet – cepet ke kampus dan kalian masih terlambat. Jalanan macet. Hujan. Banjir. Semua disalahin.

Atau kalo kalian mau diet tapi malah gak mulai – mulai. Diajakin temen makan – makanlah. Laper matalah. Ada diskon di Takigawa. Sampe gara – gara liat hasil foto kue di instagram.

Kenapa kita pilih untuk menyalahkan hal – hal yang gak bisa kita kendalikan?

It’s because it’s easier to blame others than taking control of our lives. It’s easier to be the victims than to be responsible.

Jangan sedih. Gue juga sering banget dengan mudah menyalahkan hal – hal lain daripada memilih bertanggung jawab sama hidup gue. Karena dengan menyalahkan keadaan, gue memositifkan keadaan diri gue yang sebagai korban. Well, it’s beyond of my control. There’s nothing i can do about it. Lalu, kita tidur nyenyak karena kita telah sedikit lega.

Tapi sayangnya keadaan gak berubah dengan menjadi korban dan menghindari tanggung jawab.

Start taking responsibilities. Stop blaming your surroundings.
Start from you, start from small things, start it now.
Cheers.