Chapter Eleven.
Page 326 of 365.
On Trust Issue.
Segampang apa kalian percaya sama keluarga kalian?
Segampang apa kalian percaya sama temen - temen kalian?
Segampang apa kalian percaya sama orang lain?
Segampang apa kalian percaya sama diri kalian sendiri?
Buat gue, jawabannya adalah susah.
Ya, susah untuk percaya sama diri sendiri, apalagi orang lain.
Mungkin ini emang sifat bawaan gue dari lahir.
Mungkin juga ini hasil dari akumulasi pengalaman gue dikecewakan oleh orang lain.
Yang bikin keselnya adalah gue orang yang seringkali butuh pendapat orang lain saat mempertimbangkan sesuatu.
But i'm not really sure whether they are telling the truth or just their opinion.
But i keep on insisting to hear it.
Though i know that it's not always necessary.
Masalahnya ada di diri gue sendiri.
Ketidakpercayaan gue sama diri gue sendiri membuat gue hampir selalu meragukan setiap keputusan yang udah gue buat.
Hal ini membuat gue butuh pendapat orang lain.
Tapi gue juga hampir selalu gak percaya pendapat orang lain.
Terutama yang pendapatnya gak sesuai sama pemikiran gue.
Yang membuat gue berpikir sendiri tapi gue juga gak terlalu percaya sama pendapat gue sendiri.
Dan siklus ini berlanjut terus bak lingkaran setan.
(Gue gak tau siapa penemu frase lingkaran setan. Gue cuma mikir aja kenapa harus ngambil lingkarannya si setan bukan lingkarannya Budi.)
Untuk hal - hal tertentu sebenernya gampang.
Kalau pendapat gue dan opini orang lain sama, biasanya gue akan langsung setuju aja.
Yang rada ribet kalau beda nih.
Bukan tentang benar atau salah.
Cuma tentang suka atau enggak.
Gue suka satu aktivitas tertentu yang gak melanggar Perintah Tuhan ataupun Undang - Undang Dasar ataupun merugikan harkat hidup orang banyak.
Tapi hampir semua orang yang gue hormati gak memberikan opini positif ketika gue tanya.
Mereka gak kasih opini negatif juga sih.
Mereka cuma jawab, "Oke."
Padahal kalian berharap mereka akan jawab sesuatu yang lebih panjang dan bermakna jelas selain sebuah oke.
Rasanya pengen kasih mereka bunga.
Bunganya dilempar.
Sama potnya juga.
Dari lantai 15.
Sama Ade Rai.
Sesuatu yang gue anggap penting ternyata gak begitu penting buat mereka.
Gue:
Gue mau jadi penyanyi dangdut ah.
Orang lain (yang mereka omongin):
Oke.
Orang lain (yang gue tangkep dan gue hampir yakin 100% ini sebenernya maksud mereka):
Oke, lu fix udah gila. Jangankan nyanyi, napas aja sumbang. Jangankan suruh joged, lu bedain kiri kanan aja gak bisa. Sana kembali nulis puisi - puisi galau aja.
Oke, ini ilustrasi aja. Gue gak berencana mengubah karir keartisan gue jadi penyanyi dangdut tapi kalau ada agensi yang berminat, bisa hubungin gue di email gue..
Anyway.
Yah gitu deh maksud gue.
Kadang apa yang lu yakinin gak sesuai sama pendapat orang. Karena yang penting bukan pendapat orang. Bukan juga pendapat lu sendiri.
Yang penting adalah apa pendapat Tuhan tentang elu karena Dia tau kalian luar dalem dan masih terima kalian apa adanya.
Siapa yang berani kaya begitu?
Gue rasa orang tua gue juga gak segitunya. Kalau gue ada salah, mereka pasti kecewa tapi mereka terima gue apa adanya.
Tapi Tuhan enggak. Kalau gue ada salah, Dia terima gue apa adanya karena identitas gue bukan ditentukan sama apa yang gue perbuat. Identitas gue ditentukan sama apa kata Dia tentang gue. Dan yang gue tau, Dia bilang gue adalah anak kesayangannya.
So i choose to trust Him.
Kalau di waktu lain kalian ragu - ragu, kalian takut, kalian bingung harus percaya sama siapa, gue sih saranin percaya sama Tuhan aja. Jangan sama diri sendiri, jangan sama orang lain, itu namanya musyrik.
Semoga tulisan ini jadi berkat buat kalian.
Friday, November 22, 2013
Tuesday, November 19, 2013
Fiction
Chapter Eleven.
Page 323 of 365.
Fiction.
You are here,
sitting next to me.
Doubts disappear,
my heart's full of glee.
You are mine,
for longer than forever.
I don't need any sign,
it's almost happily ever after.
You love me,
just like the way it should be.
I'm so happy,
as happy as i can be.
This is perfect.
This is what we always hope for.
This is too good to be true.
This is not going to happen in this lifetime.
So i wake up and mourning over my lost.
Page 323 of 365.
Fiction.
You are here,
sitting next to me.
Doubts disappear,
my heart's full of glee.
You are mine,
for longer than forever.
I don't need any sign,
it's almost happily ever after.
You love me,
just like the way it should be.
I'm so happy,
as happy as i can be.
This is perfect.
This is what we always hope for.
This is too good to be true.
This is not going to happen in this lifetime.
So i wake up and mourning over my lost.
Friday, November 15, 2013
On Love 2.0
Chapter Eleven.
Page 319 of 365.
On Love 2.0
Kapan terakhir kali kalian jatuh cinta?
Kapan terakhir kali kalian cuma mikirin satu orang itu terus sampai lupa sama yang lain?
Kapan terakhir kali kalian gak bisa tidur karena udah gak sabar buat ketemu orang itu besok paginya?
Kapan terakhir kali kalian gugup setengah mati karena mau ketemu dia tapi di saat yang bersamaan, kalian seneng setengah mati?
Kapan terakhir kali kalian bener - bener jatuh cinta?
Apa kalian pernah tanpa sadar ngedengerin lagu - lagu yang gak pernah kalian denger karena kalian tau kalau si dia suka sama lagu itu?
Apa kalian pernah nonton film yang gak kalian suka hanya karena si dia bilang film itu bagus?
Apa kalian pernah tiba - tiba ngelakuin hal - hal yang gak kalian suka cuma karena si dia bilang hal itu keren?
Ya, kalian pasti pernah jatuh cinta.
Gak ada yang pernah salah dengan jatuh cinta.
Satu - satunya yang salah adalah ketika kita salah pilih objek untuk jadi pelabuhan cinta kita.
Kita sering menyalahartikan perasaan lain dengan cinta.
Bisa aja sebenernya kita cuma kagum.
Atau malah terharu ngeliat kelakuan dia.
Atau cuma sekedar suka penampilannya.
Kecuali kalau lu suka sama penampilan SNSD.
Enggak, itu beneran namanya cinta.
Kesalahan yang terakhir adalah kesalahan umum yang sering dilakukan anak muda.
Karena mereka terpatok dengan konsep dari mata turun ke hati.
Apa yang enak dilihat, pasti juga enak untuk dijadiin pacar.
Beberapa waktu yang lalu, gue liat salah satu temen gue posting foto di Path yang kurang lebih intinya begini:
Kalau penampilan fisik yang membuatmu jatuh cinta, bagaimana kamu mencintai Tuhan yang tidak berwujud?
Tiba - tiba gue kepikiran aja.
Bener juga ya.
Kita gak bisa lihat Tuhan tapi kita cinta Tuhan.
Seenggaknya, gue sih cinta Tuhan gue.
Gak tau kalian gimana.
Ada satu kutipan dari salah satu film cinta - cintaan favorit gue yang judulnya cin(T)a:
"Pacar saya harus lebih cinta sama Tuhannya dibanding sama saya. Kalau dia bisa gak setia sama Tuhannya, gimana dia bisa setia sama saya?"
(Kurang lebih sih ingetan gue begini ye, maaf kalo terjadi kesalahan pengutipan.)
Apakah kita udah pernah menjadikan standar keimanan sebagai patokan kita cari pacar?
Kalau pertanyaan ini gue lemparkan ke temen - temen gue, kayanya semua bakal jawab iya.
Tapi kenyataan yang gue dapet enggak begitu sih.
Dan sejujurnya, iya emang rada susah sih.
Coba bayangin, kalian pilih mana:
Emma Stone tapi gak taat beragama
atau
(Isi bagian ini dengan orang yang berwajah biasa aja) tapi taat beragama?
Semua pria berpikiran lurus dan bermata jernih pasti pilih Emma Stone. Gue juga sih.
Itulah susahnya hidup dengan indera penglihatan yang menjadi patokan utama kita.
Jadi, apa intinya tulisan kali ini?
Gue cuma mau ngajak mikir aja.
Apakah kita udah belajar mencintai Tuhan yang tak berwujud secara serius?
Karena kalau jawabannya adalah iya, kalian gak akan melihat orang lain dari tampak luarnya aja.
Kalian gak akan gak setia sama pacar kalian.
Kalian gak akan gak hormat sama orang tua kalian.
Kalian gak akan gak mengasihi orang lain.
Kenapa?
Karena jatuh cinta sama Tuhan adalah jatuh cinta dengan kasih yang paling sempurna.
Yang gak egois.
Yang gak licik.
Yang gak mikirin diri sendiri.
Yang gak bersenang - senang di atas penderitaan orang lain.
Yang gak lain di mulut, lain di hati.
Karena ketika kita jatuh cinta, segala sesuatunya berubah.
Apakah kita udah bener - bener jatuh cinta sama Tuhan?
Apakah kita udah bener - bener gak pikirin hal lain selain berusaha menyenangkan hati Tuhan?
Apakah kita udah bener - bener belajar untuk gak ngelakuin apa yang Dia gak suka?
Atau kita cuma sekedar suka sama Tuhan?
Have a great weekend.
Page 319 of 365.
On Love 2.0
Kapan terakhir kali kalian jatuh cinta?
Kapan terakhir kali kalian cuma mikirin satu orang itu terus sampai lupa sama yang lain?
Kapan terakhir kali kalian gak bisa tidur karena udah gak sabar buat ketemu orang itu besok paginya?
Kapan terakhir kali kalian gugup setengah mati karena mau ketemu dia tapi di saat yang bersamaan, kalian seneng setengah mati?
Kapan terakhir kali kalian bener - bener jatuh cinta?
Apa kalian pernah tanpa sadar ngedengerin lagu - lagu yang gak pernah kalian denger karena kalian tau kalau si dia suka sama lagu itu?
Apa kalian pernah nonton film yang gak kalian suka hanya karena si dia bilang film itu bagus?
Apa kalian pernah tiba - tiba ngelakuin hal - hal yang gak kalian suka cuma karena si dia bilang hal itu keren?
Ya, kalian pasti pernah jatuh cinta.
Gak ada yang pernah salah dengan jatuh cinta.
Satu - satunya yang salah adalah ketika kita salah pilih objek untuk jadi pelabuhan cinta kita.
Kita sering menyalahartikan perasaan lain dengan cinta.
Bisa aja sebenernya kita cuma kagum.
Atau malah terharu ngeliat kelakuan dia.
Atau cuma sekedar suka penampilannya.
Kecuali kalau lu suka sama penampilan SNSD.
Enggak, itu beneran namanya cinta.
Kesalahan yang terakhir adalah kesalahan umum yang sering dilakukan anak muda.
Karena mereka terpatok dengan konsep dari mata turun ke hati.
Apa yang enak dilihat, pasti juga enak untuk dijadiin pacar.
Beberapa waktu yang lalu, gue liat salah satu temen gue posting foto di Path yang kurang lebih intinya begini:
Kalau penampilan fisik yang membuatmu jatuh cinta, bagaimana kamu mencintai Tuhan yang tidak berwujud?
Tiba - tiba gue kepikiran aja.
Bener juga ya.
Kita gak bisa lihat Tuhan tapi kita cinta Tuhan.
Seenggaknya, gue sih cinta Tuhan gue.
Gak tau kalian gimana.
Ada satu kutipan dari salah satu film cinta - cintaan favorit gue yang judulnya cin(T)a:
"Pacar saya harus lebih cinta sama Tuhannya dibanding sama saya. Kalau dia bisa gak setia sama Tuhannya, gimana dia bisa setia sama saya?"
(Kurang lebih sih ingetan gue begini ye, maaf kalo terjadi kesalahan pengutipan.)
Apakah kita udah pernah menjadikan standar keimanan sebagai patokan kita cari pacar?
Kalau pertanyaan ini gue lemparkan ke temen - temen gue, kayanya semua bakal jawab iya.
Tapi kenyataan yang gue dapet enggak begitu sih.
Dan sejujurnya, iya emang rada susah sih.
Coba bayangin, kalian pilih mana:
Emma Stone tapi gak taat beragama
atau
(Isi bagian ini dengan orang yang berwajah biasa aja) tapi taat beragama?
Semua pria berpikiran lurus dan bermata jernih pasti pilih Emma Stone. Gue juga sih.
Itulah susahnya hidup dengan indera penglihatan yang menjadi patokan utama kita.
Jadi, apa intinya tulisan kali ini?
Gue cuma mau ngajak mikir aja.
Apakah kita udah belajar mencintai Tuhan yang tak berwujud secara serius?
Karena kalau jawabannya adalah iya, kalian gak akan melihat orang lain dari tampak luarnya aja.
Kalian gak akan gak setia sama pacar kalian.
Kalian gak akan gak hormat sama orang tua kalian.
Kalian gak akan gak mengasihi orang lain.
Kenapa?
Karena jatuh cinta sama Tuhan adalah jatuh cinta dengan kasih yang paling sempurna.
Yang gak egois.
Yang gak licik.
Yang gak mikirin diri sendiri.
Yang gak bersenang - senang di atas penderitaan orang lain.
Yang gak lain di mulut, lain di hati.
Karena ketika kita jatuh cinta, segala sesuatunya berubah.
Apakah kita udah bener - bener jatuh cinta sama Tuhan?
Apakah kita udah bener - bener gak pikirin hal lain selain berusaha menyenangkan hati Tuhan?
Apakah kita udah bener - bener belajar untuk gak ngelakuin apa yang Dia gak suka?
Atau kita cuma sekedar suka sama Tuhan?
Have a great weekend.
Saturday, November 2, 2013
Satu Hari Lagi
Chapter Eleven.
Page 306 of 365.
Satu Hari Lagi.
Satu hari lewat lagi.
Satu hari yang dihiasi senyummu.
Satu hari yang kamu isi dengan kebahagiaan.
Satu hari yang aku habiskan dengan mengagumimu.
Kadang aku berpikir,
apa yang membuatmu berbeda dari yang lain.
Parasmu yang menarik?
Masih banyak yang lebih menarik dibanding kamu.
Wajahmu yang rupawan?
Ada berjuta - juta orang yang lebih rupawan di luar sana.
Senyummu yang tulus?
Bukan sesuatu yang spesial dibanding orang lain.
Tapi ada sesuatu yang terus menerus menarikku untuk selalu memikirkanmu di setiap napasku.
Dan hari ini aku tau apa itu.
Kamu,
akan selalu berada di luar jangkauanku.
Kamu,
akan selalu hanya menjadi khayalan di siang bolong.
Kamu,
akan selalu menjadi mimpi indah yang tak mungkin menjadi nyata.
Dan hari ini adalah waktunya aku terbangun dari mimpi indah itu.
Namun,
kali ini aku memohon kepadamu
sebuah permintaan sederhana.
Aku meminta satu hari lagi.
Satu hari lagi yang dihiasi senyummu.
Satu hari lagi yang kamu isi dengan kebahagiaan.
Satu hari lagi yang aku habiskan dengan mengagumimu.
Satu hari lagi,
denganmu di sisiku.
Page 306 of 365.
Satu Hari Lagi.
Satu hari lewat lagi.
Satu hari yang dihiasi senyummu.
Satu hari yang kamu isi dengan kebahagiaan.
Satu hari yang aku habiskan dengan mengagumimu.
Kadang aku berpikir,
apa yang membuatmu berbeda dari yang lain.
Parasmu yang menarik?
Masih banyak yang lebih menarik dibanding kamu.
Wajahmu yang rupawan?
Ada berjuta - juta orang yang lebih rupawan di luar sana.
Senyummu yang tulus?
Bukan sesuatu yang spesial dibanding orang lain.
Tapi ada sesuatu yang terus menerus menarikku untuk selalu memikirkanmu di setiap napasku.
Dan hari ini aku tau apa itu.
Kamu,
akan selalu berada di luar jangkauanku.
Kamu,
akan selalu hanya menjadi khayalan di siang bolong.
Kamu,
akan selalu menjadi mimpi indah yang tak mungkin menjadi nyata.
Dan hari ini adalah waktunya aku terbangun dari mimpi indah itu.
Namun,
kali ini aku memohon kepadamu
sebuah permintaan sederhana.
Aku meminta satu hari lagi.
Satu hari lagi yang dihiasi senyummu.
Satu hari lagi yang kamu isi dengan kebahagiaan.
Satu hari lagi yang aku habiskan dengan mengagumimu.
Satu hari lagi,
denganmu di sisiku.
Labels:
inspiration,
my poems,
passion,
puisi,
satu hari lagi,
thoughts
Subscribe to:
Posts (Atom)